Menempati urutan ketujuh terbesar.
Sebulan lalu, anak-anak sekolah menengah atas di China mendapatkan buku teks baru. Judulnya kurang-lebih Dasar-dasar Inteligensia Buatan (Artificial Intelligence). Buku itu dipublikasikan hanya enam bulan setelah Dewan Negara China memerintahkan materi inteligensia buatan alias AI dimasukkan dalam materi pendidikan dasar dan menengah.
Sebagai proyek percontohan, ada 40 SMA di China yang bergabung dalam program inteligensia buatan yang disokong oleh Grup SenseTime, perusahaan China yang kondang di bidang tersebut. “Ke-40 SMA ini hanya permulaan. Kami berniat menyebarluaskan kursus inteligensia buatan ke sekolah-sekolah di seluruh China,” SenseTime menulis dalam pernyataan dikutip oleh South China Morning Post beberapa hari lalu.
Lembaga riset Gartner menaksir nilai bisnis artificial intelligence di seluruh dunia akan menyentuh angka US$ 3,9 triliun, lebih dari Rp 50 ribu triliun, pada 2022. Pemerintah China tak mau ketinggalan dalam adu balap memperebutkan kue bisnis yang sangat strategis itu.
Meski mesin ekonominya sedang sedikit melambat, dalam segala hal, Negeri Panda di utara ini terus tancap gas nyaris dalam segala hal. Pemerintah China terus membangun jalan tol, kereta cepat, pembangkit listrik tenaga angin dan tenaga surya, bahkan telah menuntaskan proyek teleskop radio terbesar di dunia. Hingga akhir 2017, pemerintah China sudah membentangkan 137 ribu kilometer freeway, hampir semuanya merupakan jalan tol.
Buku soal inteligensia buatan hanya satu dari sekian contoh bagaimana pemerintah Negeri Panda mati-matian berupaya agar mutu pendidikan di negeri itu tak kalah dari sekolah-sekolah di Amerika Serikat maupun negara-negara maju di Eropa. Sudah banyak bukti bahwa mutu pendidikan adalah kunci bagi maju atau mundurnya suatu negara.
Mahasiswa Indonesia di China dalam sebuah kegiatan pariwisata Indonesia
Foto: dok. KBRI di China
Semua orang di China bermimpi negara ini bisa memiliki kampus kelas dunia, seperti Harvard, Yale, Oxford, dan Cambridge.”
Koran pemerintah China, People’s Daily
Sekian tahun yang lalu, barangkali jarang orang Indonesia yang berpikir untuk berkuliah di China, apalagi dengan biaya sendiri. Tapi sekarang, setiap tahun ada ribuan warga Indonesia yang terbang ke Beijing, Shanghai, Tianjin, Nanchang, Wuhan, Xiamen, dan kota-kota lain di China untuk menuntut ilmu. Raynaldo Aprillio, Ketua Umum Perhimpunan Pelajar Indonesia di China, menaksir ada sekitar 14 ribu warga Indonesia yang kini bersekolah di pelbagai kampus di Negeri Tirai Bambu.
Jika pemeringkatan Times Higher Education dan QS World University Rankings jadi ukuran mutu perguruan tinggi di China, Presiden Xi Jinping boleh sedikit berlega hati. Dari 20 perguruan tinggi terbaik di Asia versi Times Higher Education, tujuh di antaranya berasal dari China, di antaranya Tsinghua University, Peking University, Nanjing University, dan Zhejiang University. Jumlah itu lebih banyak lagi jika kampus-kampus di Hong Kong juga ikut dihitung. Tak ada kampus di Indonesia yang masuk 100 besar terbaik di Asia.
Tapi terbaik di Asia saja tak cukup bagi negara sebesar China. “Semua orang di China bermimpi negara ini bisa memiliki kampus kelas dunia, seperti Harvard, Yale, Oxford, dan Cambridge,” koran pemerintah People’s Daily menulis beberapa bulan lalu. Pada 2015, pemerintah China mencanangkan target ambisius lewat proyek Rencana Double First Class University. Targetnya, pada 2050, bakal ada 42 kampus di Daratan China (tak termasuk Hong Kong), yang bakal menjadi universitas kelas dunia.
“Kita akan bergerak cepat untuk membuat kampus-kampus kita menjadi universitas kelas dunia,” kata Presiden Xi Jinping saat berpidato dalam Kongres Nasional Partai Komunis China pada Oktober 2017. Yang di maksud universitas kelas dunia adalah kampus yang masuk peringkat 200 besar dunia versi pemeringkatan Times Higher Education, QS World, atau Academic Ranking of World Universities.
Saat ini, baru ada tujuh kampus ‘kelas dunia’ di China versi Times Higher, yakni Universitas Peking, Universitas Tsinghua, Universitas Fudan, Universitas Nanjing, Universitas Zhejiang, Universitas Shanghai Jiao Tong, dan University of Science and Technology of China. Sebagai perbandingan, Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, dan Universitas Gadjah Mada, semua ada di urutan 801-1.000.
Feby Dwi Sutianto saat melakukan presentasi tesis.
Foto: dok. pribadi
Di antara 42 kampus yang ditargetkan masuk universitas kelas dunia itu adalah Universitas Xiamen di Provinsi Fujian. Ambisi besar pemerintah Negeri Panda itu jelas kelihatan di kampus ini. Feby Dwi Sutianto, mahasiswa asal Indonesia yang kuliah di Jurusan Ekonomi Manajemen Universitas Xiamen, menuturkan sebagian besar dosen di kampusnya masih sangat muda, rata-rata baru umur 30-an tahun.
“Tapi mereka lulusan S-3 dari Amerika Serikat atau Eropa,” kata Feby. Bahkan kampus juga merekrut sejumlah dosen asing. Mahasiswa juga dimanjakan dengan perpustakaan yang sangat lengkap, akses jurnal ilmiah, dan data penelitian tak terbatas. Fasilitas olahraga milik Universitas Xiamen ini tak kalah dengan kawasan Senayan sekalipun. Ada tiga lapangan sepak bola, puluhan lapangan basket, kolam renang, lapangan golf, lapangan badminton, tenis, voli, hingga danau untuk berlatih dayung.
* * * Jangan Lupa Kunjungin : Situs Tuanbola
Makin banyaknya tawaran beasiswa, membaiknya mutu pendidikan, dan fasilitas yang lengkap di kampus-kampus China mengundang lumayan banyak mahasiswa asing belajar di Negeri Tirai Bambu. Pada tahun 2000, jumlah mahasiswa asing di China baru 52.150 orang, tapi pada 2016 jumlahnya sudah lompat berlipat-lipat menjadi 442.431 mahasiswa.
Menurut data Kementerian Luar Negeri China, mahasiswa asal Korea Selatan menempati urutan teratas di daftar mahasiswa asing di China, disusul Amerika Serikat, Thailand, Pakistan, dan India. Jumlah mahasiswa asal Indonesia ternyata menempati urutan ke-7 terbesar di antara mahasiswa asing di China. Pada 2016, ada 14.714 mahasiswa Indonesia belajar di China. Selain belajar bahasa Mandarin untuk bekal menangkap peluang dari ekspansi ekonomi Negeri Panda, menurut Raynaldo, sebagian mahasiswa Indonesia juga mencari peluang dagang sembari kuliah di Tiongkok.
"Sebagian besar kuliah dengan biaya sendiri," ujar Priyanto Wibowo, Atase Pendidikan Kedutaan Besar Republik Indonesia. Di antara mahasiswa yang kuliah ke China dengan biaya sendiri adalah Bryna Meivitawanli dan Rey Christian. Bryna sudah empat tahun berkuliah di China. Dia pertama datang ke China dengan biaya sendiri untuk mengejar gelar master of business administration.
Fadil, Sekretaris Perhimpunan Pelajar Indonesia di Tiongkok Cabang Wuhan
Foto: dok. pribadi
Gelar MBA sudah didapat, dia lanjut kuliah dengan beasiswa dari pemerintah China. Kini Bryna sedang menempuh kuliah S-3 di Jurusan Enterprise Management Universitas Teknologi Wuhan, sementara Rey merupakan mahasiswa di Jurusan Ekonomi dan Perdagangan Internasional Tianjin Normal University. “Saya diajak saudara kuliah di China,” kata Rey.
Tapi beasiswa ke China pun relatif tak sulit didapat. Berdasar pengalaman, menurut Fadil, Sekretaris Perhimpunan Pelajar Indonesia di China Cabang Wuhan dan mahasiswa S-2 Jurusan Developmental and Educational Psychology Central China Normal University, ketimbang mencari beasiswa ke Australia atau Amerika Serikat, syarat dan persaingan mendapatkan beasiswa kuliah ke China memang lebih longgar.
"Tapi dari tahun ke tahun peminatnya terus bertambah, sehingga persaingan makin ketat," ujar Fadil. Mahasiswa asal Aceh ini kuliah di Wuhan dengan beasiswa dari pemerintah China. "Tidak susah, hanya harus sabar karena banyak berkas yang mesti diurus," ujar Luluk Ariska, mahasiswi Jurusan Ekonomi Internasional dan Perdagangan Universitas Sains dan Teknologi Tianjin.
Selain sedikit masalah soal bahasa dan selera makanan, rata-rata mahasiswa Indonesia tak menghadapi banyak persoalan dalam beradaptasi, terutama bagi mahasiswa yang tak paham bahasa Mandarin seperti Feby dan Fadil. “Saya nggak bisa bahasa Mandarin sama sekali saat tiba, sedangkan komunikasi di lingkungan kampus dan luar kampus mayoritas dengan bahasa Mandarin,” Feby menuturkan.
Tak ada masalah dengan politik, apalagi gosip soal ajaran komunisme. “Sangat tidak benar jika dibilang kami belajar atau dicekoki komunisme di sini. Itu benar-benar nol besar,” kata Bryna. Bahkan penduduk setempat pun, menurut Fadil, menjauhi membahas politik negerinya sendiri.
Satu hal kesan mahasiswa-mahasiswa Indonesia terhadap suasana kampus di China yang nyaris seragam adalah soal semangat belajar mahasiswa-mahasiswa di sana. Baik di kampus Luluk dan Rey di Tianjin, kampus Fadil dan Bryna di Wuhan, maupun Feby yang belajar di kampus Siming Universitas Xiamen, perpustakaan selalu penuh dari pagi hingga menjelang tengah malam. “Bahkan hari Sabtu dan Minggu juga penuh,” kata Feby.
No comments:
Post a Comment